Selasa, 03 Juli 2012

MELIHAT SISI LAIN DARI FANATISME DI INDONESIA

Kalau kita lihat sekarang ini,musik adalah dunia yang menyatukan banyak pihak dari berbagai kalangan,bahkan dikatakan Music sebagai media universal untuk kedamaian.
namun,kali ini kita tidak akan membicarakan mengenai music atau dunia sejenisnya.
kali ini yang akan kita bahas adalah bagaimana para penikmat musik itu sendiri yang disebut dengan "FANS".
Fans diambil dari kata Fanatisme yang diartikan sebagai pemujaan terhadap suatu hal bukan hanya musik. Dalam pengertian lebih lanjut arti dari Fanatisme itu sendiri adalah Fanatisme adalah sebuah keadaan di mana seseorang atau kelompok yang menganut sebuah paham, baik politik, agama, kebudayaan atau apapun saja dengan cara berlebihan (membabi buta) sehingga berakibat kurang baik, bahkan cenderung menimbulkan perseteruan dan konflik serius ( WIKIPEDIA ).
Namun kalau kita lihat sekarang ini,Fanatisme yang dimiliki seseorang atau sekelompok massa telah menjadi suatu permasalahan tersendiri.
Dalam kenyataannya Fanatisme di Indonesia lebih cenderung kepada pemujaan secara fanatik terhadap tokoh tertentu terutama dalam Bidang Musik,Agama,dan politik.
bahkan kalau kita lihat sekarang ini,para Fans itu seperti magnet pada tokoh yang mereka puja,bisa dikatakan dimana ada bintang disitu fans akan berada.
Ini menjadikan polemik tersendiri yang akan kita bahas dibawah ini.
Di Indonesia, dunia musik merupakan ladang untuk mendapatkan para fans Fanatik sebut saja Slank dengan Slankres,Kotak dengan Kerabat kotak,Ungu dengan Cliquers,ST 12 dengan ST setianya,Wali dengan para wali ,dan lain sebagainya.
Tentu mereka yang dijadikan tokoh pujaan sangat senang jika melihat fans mereka begitu banyak dan selalu ada di tiap konser nya. Para Fans tersebut bahkan rela datang dari tempat yang jauh demi melihat tokoh yang digandrunginya itu tampil dan mereka akan memiliki pemikiran bahwa mereka tidak boleh melewatkan satu konser pun dari konser para bintang mereka itu.
Dengan banyak Fans maka suatu tokoh akan mendapat pandangan dan derajat lain di mata publik yang akan meningkatkan rating dan pamor mereka. Di dunia hiburan misalnya,Tidak ada fans dikatakan Nggak Eksis,sedangkan banyak fans akan membuat eksistensi mereka dapat bertahan.
jadi dapat dikatakan FANS = TOKOH.
Ini berlaku pula pada bidang Politik dan agama juga. Keberadaan para fans yang rata - rata fanatik tersebut merupakan berkah tersendiri dan akan tetap baik fungsinya jika tidak melewati batas - batas tertentu. Para fans Fanatik akan menjadi permasalahan tersendiri ketika fans itu berubah menjadi kumpulan massa yang menimbulkan Kericuhan di tempat umum. Sudah bukan hal yang tabu ,jika Fanatisme di Negara kita selalu dikaitkan dengan hal yang bersifat negatif.
Semisal kasus yang paling sering adalah Fanatisme berlebihan yang terjadi di konser musik tertentu yang menimbulkan kekerasan bahkan korban jiwa.
Jika hal ini sampai terjadi maka hal tersebut akan mengalih fungsikan fanatisme mereka sendiri. Fanatisme yang berlebihan dan sampai menimbulkan masalah publik dapat dikatakan tindakan kriminalisme yang akan berujung pada dampak negatif bagi mereka sendiri.
Bentuk fanatisme berlebih juga tidak hanya berupa kekerasan yang dilakukan antar Fans tetapi juga dalam bentuk lain semisal yag paling baru adalah rencana Konser JB di Indoensia dimana Fans setia JB tidak canggung merogoh kocek mereka untuk melihat bintang pujaan nya,yang dimana Tiket konser nya mencapai 1 juta rupiah.
Hal lain,juga terjadi ketika beberapa waktu lalu boy band asal korea mengadakan konser di Singapura. Demi melihat Super Junior pujaan mereka,ternyata bukan hanya warga singapura yang hadir dalam konser 3 jam tersebut tapi tidak sedikit pula warga Indonesia yang datang terutama dari kalangan kaum hawa.
Polemik fans di Indonesia seperti 2 mata pisau yang akan menjadikan tokoh pujaanya untung atau bahkan malah merepotkan. lihat saja bagaimana para Fans fanatik itu melihat tokoh pujaanya. Ada yang memajang foto bahkan membeli segala atribut yang berhubungan dengan tokoh pujannya. bahkan tidak hanya begitu saja,bentuk lain wujud fanatisme mereka pun telah sampai ke media lain seperti memasang gambar di HP mereka sampai mendirikan fans page di jejaring sosial. Bahkan lebih parah lagi mereka menjadi follower sejati bagi para tokoh pujannya si media jejaring yang terkenal saat Ini FB dan Twitter.
Sepertinya banyak dari para fans fanatik tersebut menjadikan waktu mereka untuk para bintang nya.
Di banyak kasus,seperti kasus para fans JB,bahkan ada yang akan membunuh siapa pun yang menjadi pacar dari bintang pujaan nya itu.kalau hal seperti ini maka dapat dikatakan ini sebagai sebuah ancaman dan perbuatan yang meresahkan.
Memang Fans tidak dapat dipisahkan dari seorang tokoh ,tapi alangkah baiknya jika kita menjadi Fans setia yang tidak berlebihan dalam menanggapinya. jangan sampai hanya karena tokoh yang kita jadikan bintang,malah membuat kita terikat dalam masalah yang merugikan.
Fans yang baik akan membuat citra idola mereka baik pula. Hindari fanatisme berlebih kalau tidak sesuai dengan kemampuan kita. Lebih baik menjadi Fans yang aman dan cinta damai. Jadikan fanatisme di Indonesia memiliki citra yang positif di mata dunia sehingga akan banyak lagi bintang yang akan mewarnai dunia hiburan tanah air.
Jadikan fanatisme sebagai persatuan seperti dalam pertandingan sepak bola AFF yang lalu dimana semua menyatu dan memiliki nasionalisme yang tinggi.
jadikan pula fanatisme sebagai gerakan cinta damai dan pemererat kerukunan. dan jadikan Fanatisme tidak sampai merusak nasionalisme kita terhadap bangsa. Fans akan ada dimana tokoh itu ada dan Tokoh ada jika Fans ada.


Perkembangan Profesi BK

Perkembangan bimbingan dan konseling secara lebih popular berawal dari sebuah gerakan Vocational Guidance yang dipelopori oleh Frank Parson sekitar tahun 1908-an. Perkembangan bimbingan dan konseling sebagai sebuah profesi hingga saat ini di Amerika dan di negara-negara lain sudah mengarah pada tingkat kemajuan yang pesat dan mendapatkan apresiasi yang bagus dari masyarakat.
Hal ini dimungkinkan karena  gerakan bimbingan dan konseling yang berkembang di Amerika beranjak dari sebuah kebutuhan masyarakat akan informasi dan layanan bimbingan dalam hal penempatan karir/kerja, sehingga keberadaanya mendapatkan tempat di dalam masyarakat. Saat ini perkembangan bimbingan dan konseling di Indonesia masih belum bisa berdiri lebih tegak, dan masih melakukan pencarian bentuk kerja professional. Hal ini dipaparkan oleh Nurhudaya ( 2005 : 503 )
Pada saat ini konseling di Indonesia belum sampai pada kondisi yang mapan, namun harus sudah menyesuaikan diri dengan perubahan global yang dipicu oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, kemudahan transportasi, dan ‘hilangnya’ batas-batas struktural yang mengkotak-kotakan manusia berdasarkan Negara atau wilayah. Orientasi pendekatan, strategi bantuan, kurikulum bantuan, sampai pada bagaimana konselor dipersiapkan merupakan sederet isu yang harus direspon oleh para pengembang teori, peneliti, dan praktisi di bidang konseling.
Perkembangan bimbingan dan konseling di Indonesia sudah cukup lama, berawal dari kebijakan pemerintah pada tahun 1960-1970 yang menetapkan bimbingan dan konseling di masukkan ke dalam kegiatan sekolah untuk menunjang misi sekolah mencapai tujuan pendidikannya. Periode berikutnya, pada tahun 1975 terbentuk sebuah organisasi profesi yang bernama IPBI ( sekarang berubah menjadi ABKIN ) hasil dari konvensi nasional bimbingan konseling pertama di Malang
Jika dilihat dari peta perkembangan bimbingan dan konseling baik dari sisi perkembangan profesi, maupun sebagai kajian keilmuan, sudah semestinya bimbingan dan konseling di Indonesia sudah mempunyai bentuk kerja profesional yang jelas. Namun sampai detik ini kejelasan bentuk kerja profesional baru di dunia pendidikan yaitu sebagai konselor sekolah, walaupun pada kenyataannya pelaksanaan di lapangan masih terseok-seok dan bingung, karena ketidak jelasan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis layanan BK di sekolah.
Keluhan-keluhan yang datang dari para guru pembimbing di lapangan cukup menyedihkan, seperti yang dituturkan Firdaus (www.pikiran-rakyat.com. 07 April 2006). BK telah berkembang relatif lama dan diharapkan berkembang ke arah yang lebih profesional. Namun, kenyataan di lapangan sekarang, BK baru dilirik sebelah mata. Bahkan pelecehan atau menganggap gampang BK di sekolah masih banyak terjadi. Beberapa julukan BK yang kurang baik masih tetap menempel misalnya Guidence and Counseling atau GC diplesetkan menjadi "guru cicing". Jam BK atau BP yang diberikan kepada siswa diplesetkan dengan "boleh keluar" atau "boleh pulang". Bahkan tugas guru BK pun masih menjadi sang pengadil atau polisi sekolah yang harus mencari-cari kesalahan siswa.
Secara profesional bimbingan dan konseling dapat berdiri sendiri, namun dalam konteks perkembangannya di Indonesia bimbingan konseling yang dintegrasikan dalam pendidikan akan terkait dengan sejumlah aturan pemerintah tentang pendidikan. Sebuah ironi jika bimbingan dan konseling yang sudah menjadi sebuah profesi masih dipandang sebelah mata bahkan dianggap kurang penting, hanya karena ketidak jelasan JUKLAK dan JUKNIS yang ada di lapangan (sekolah).
Dari keresahan-keresahan inilah penulis mencoba untuk mengkaji permasalahan kebijakan bimbingan dan konseling di Indonesia sehingga akan terlihat peta perkembangan profesi BK dalam menatap masa depan yang lebih menantang.


Potret Perkembangan Bimbingan dan Konseling di Indonesia
Bimbingan dan konseling di Indonesia masih belum mendapatkan apresiasi yang bagus, kenyataan di lapangan (sekolah) para guru pembimbing banyak mendapatkan sorotan, kritikan, bahkan tidak sedikit cemooahan. Para guru pembimbing di daerah jawa barat yang nota bene banyak orang sunda-nya, mendapat julukan GC yang semestinya diterjemahkan sebagai Guidance and counselling, diselewengkan menjadi Guru cicing.
Eksisistensi bimbingan dan konseling di Indonesia di mulai pada tahun 1960-1970 Bimbingan dan Penyuluhan pendidikan di masukkan ke dalam kegiatan sekolah untuk menunjang misi sekolah mencapai tujuan pendidikannya. Perkembangan setelah itu dapat diikuti dalam beberapa kebijakan pemerintah dalam bentuk peraturan dan undang-undang yang mengatur pelaksanaan bimbingan dan konseling di sekolah, seperti dipaparkan oleh Firdaus (2006: www.pikiran-rakyat.com).

Tahun 1975, BK secara formal diprogramkan di sekolah karena pada kurikulum 1975 dinyatakan bahwa bimbingan dan penyuluhan merupakan bagian integral dalam pendidikan. Pada tahun 1984, menyempurnakan kurikulum 1975, memasukkan bimbingan karier pada program BK. Pada tahun 1989, dengan UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 1 ayat 1, disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.
Pada tahun 2003, eksistensi BK semakin baik dan mulai diperhatikan. UU No. 20/ 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 1 ayat 6 menyebutkan bahwa pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.
Isu profesionalisasi hampir mengenai semua jenis profesi, setiap profesi dituntut meningkatkan mutu layanan, kinerja dan kualitas tenaga profesinya. Profesionalitas sebuah profesi dapat dilihat dari sertifikasi, akreditasi, sistem pendidikan dan latihan profesi, dan lembaga/organisasi profesi yang menjadi identitas sebuah profesi, faktor-faktor tersebut yang nantinya akan menumbuhkan kepercayaan publik pada  sebuah profesi termasuk profesi bimbingan dan konseling.
Terhitung sampai tahun 2003,  baru sekitar 10 persen konselor yang memperoleh sertifikat resmi dari Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN). Artinya, hanya 183 orang itu yang berhak menyelenggarakan bimbingan konseling dan pelatihan bagi masyarakat umum secara resmi (Kartadinata, 2003 ; www.KCM.com).
Secara hukum bagi para konselor sekolah tidak memerlukan sertifikasi dari ABKIN, dengan mengantongi gelar kesarjaan S-1 pada program pendidikan bimbingan dan konseling, memberikan asas legal bagi para konselor sekolah untuk memberikan layanan bimbingan konseling di sekolah. Namun di lapangan sekarang ini masih banyak ditemui sejumlah sekolah yang tidak memiliki konselor sekolah yang mempunyai pendidikan bimbingan dan konseling. Disinilah perlunya para konselor memahami aspek politik yang mengatur kebijakan profesi, ABKIN seharusnya bekerjasama dengan pemerintah untuk melindungi profesi bimbingan dan konseling, dalam hal menyeleksi para calon konselor sekolah.
Proses untuk menjadi besar, terpercaya, profesional,  profesi bimbingan dan konseling perlu mendapat dukungan dari seluruh praktisi yang terlibat di dalamnya dalam meningkatkan kualitas lembaga pendidikan dan keguruan yang menghasilkan tenaga konselor yang berkualitas yang sesuai dengan satndarisasi ABKIN, sehingga pandangan yang mendiskriditkan profesi bimbingan dan konseling dapat dikikis, dan profesi bimbingan dan konseling mendapatkan kepercayaan dari masyarakat.

Arah Pengembangan Kebijakan BK Sebagai Sebuah Profesi
Bimbingan dan konseling bisa dikatakan berdiri sebagai sebuah profesi semenjak terbentuknya IPBI ( Ikatanan Petugas Bimbingan Indonesia) pada konverensi pertama di Malang tahun 1975 ). Peningkatan mutu dan profesionalisasi para konselor yang berada dibawah naungan IPBI yang sekarang berubah menjadi ABKIN dilakukan dengan menetapkan standar kompetensi konselor, secara internal ABKIN telah menetapkan standar kompetensi ini bagi seluruh konselor dan calon konselor. Namun standar ini belum bisa diaplikasikan secara menyeluruh, karena peraturan pemerintah yang menjadi payung hukum belum dikelurakan dengan beberapa alasan.
Standar kompetensi yang dirumukan oleh ABKIN  terdiri dari 7 kompetensi utama yang diterjemahkan lagi ke dalam 27 sub kompetensi untuk memperjelas komptensi utama serta membantu mempermudah pencapaian komptensi tersebut. Adapun kompetensi-komptensi tersebut adalah :
1.         Penguasaan konsep dan praksis pendidikan
2.         Kesadaran dan komitmen etika profesional
3.         Penguasaan konsep perilaku dan perkembangan individu
4.         Penguasaan konsep dan praksis asesmen.
5.         Penguasaan konsep dan praksis bimbingan dan konseling.
6.         Pengelolaan program bimbingan dan konseling
7.         Penguasaan konsep dan praksis riset dalam bimbingan dan konseling. (ABKIN, 2005: 12).

Profesionalisasi BK juga harus memperhatikan kualitas lembaga pendidikan yang menghasilkan konselor yang profesional. Muatan kurikulum dalam lembaga pendidikan para calon konselor, harus mengintegrasikan standar kompetensi konselor, sehingga dalam proses pembinaan konselor profesional dilakukan secara berkesinambungan dan tersistematis dalam kurikulum yang diberlakukan.
ABKIN sebagai institusi yang mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan kebijakan yang berlaku bagi seluruh konselor, harus mampu menggandeng lembaga-lembaga pendidikan bimbingan dan konseling, kerjasama yang dilakukan adalah dalam memantau dan menjaga kualitas para konselor dengan proses setifikasi yang dilakukan oleh lembaga pendidikan.
Saat ini program pendidikan yang ada terdiri jenjang S-1, S-2, S-3, sedangkan untuk pendidikan profesi memiliki jenjang tersendiri, namun program ini diperuntukan bagi lulusan S-1 bimbingan dan konseling. Kebijakan dalam pengelolaan pendidikan profesi pun masih belum begitu jelas dan terstandar, sejauh ini program pendidikan profesi baru diselenggarakan oleh Prodi BK Universitas Negeri Padang, dan Program BK Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indoensia. ABKIN seharusnya bisa lebih tegas dalam hal ini, karena ada satu hal yang penting bagi sebuah profesi yaitu mendapatkan kepercayaan masyarakat (Public Trust). Bigs& Blocher  ( 1986, Suherman, 2003:84 ) memaparkan tiga komponen yang harus dimiliki oleh sebuah profesi, yaitu : 1). Memiliki kompetensi dan keahlian yang disiapkan melalui pendidikan dan latihan khusus, 2). Ada perangkat aturan untuk mengatur perilaku profesional dan melindungi kesejahteraan publik, 3). Para anggota profesi akan bekerja dan memberikan layanan dengan berpegang teguh pada standar profesi.
Poin kedua menunjukan pada kita bahwa sebuah profesi harus memiliki keketatan aturan karena hal tersebut berhubungan dengan perlindungan kesejahteraan. Kepercayaan publik yang diinginkan oleh setiap profesi ditinjau dari kejelasan regulasi yang terkait dengan program pendidikan, stnadar kompetensi profesional, dan regulasi yang mengatur perilaku profesional konselor (kode etik).
Hal ini harus di awali dengan kejelasan program pendidikan konselor dan program pendidikan profesi konselor yang terstandar secara nasioanal oleh ABKIN, sehingga tidak ada lagi blok dalam pengembangan profesi ini baik dalam pengembangan keilmuan atau dalam praktik layanan. Kebutuhan akan program layanan bimbingan dan konseling saat ini bukan hanya datang dari dunia pendidikan saja, namun bidang-bidang lain seperti dunia usaha dan industri, kemasyarakatan dan lembaga pernikahan, pelayanan sosial, dan bidang-bidang lain yang yang memiliki objek utama individu pun menjadi lahan garapan profesi bimbingan dan konseling.
Oleh karena itu kebijakan dari ABKIN dalam mengembangkan profesi bimbingan dan konseling harus bisa membaca ke arah sana, di mana kebijakan ini diberlakukan kepada lembaga pendidikan yang mendidik para calon konselor, dan program pendidikan pasca sarjana dan pendidikan profesi, sehingga kebutuhan dari masyarakat atas keberagaman kebutuhan dari berbagai aspek kehidupan bermasyarakat dapat dilayani oleh para konselor yang kompeten dibidangnya masing-masing.

 Sumber : http://wwwrumahkonselinggorontalo.blogspot.com/2012/04/perkembangan-profesi-bk.html

TERBUKA?? ATAU TERTUTUP??

ORANG memang berbeda-beda. Ada yang ekstrovert, ada yang introvert. Yang satu nyuruh kita terbuka, sedangkan kita lebih suka tertutup. Lain lagi. Ada yang minta kita tertutup padahal jelas-jelas kepribadian kita terbuka. Orang men-judge orang terbuka dan mengutuk orang tertutup. Pilih mana? Terbuka? Tertutup?

Kita hidup dikelilingi orang-orang yang beraneka ragam : jenis kelamin, ras, selera, cara pandang, style, haluan politik, agama. De el el. Juga kita dikerumuni orang-orang dengan pola sikap yang macem-macem terhadap kepribadian orang laen. Ada komunitas yang nggak suka sama orang-orang yang karakternya terbuka. Gitu juga dengan orang-orang tertutup. Masing-masing punya alasan buat suka n nggak suka. Masalahnya, kita mau ikut yang mana?

Susah memang idup di tengah-tengah manusia. Kita sering dipaksa untuk mengikuti selera mereka. Apa hak mereka? Dan apa pula kewajiban kita buat nurutin mereka? So, inilah kita. Mau menjadi karakter terbuka ataupun tertutup, nggak usah mikirin orang laen. Yang punya idup kita. Biarin mereka ngomong apa toh omongan itu nggak bakalan ngubah sedikit pun takdir kita.

Kita yang nentuin mau jadi apa kita dan seperti apa diri kita.
Kita yang nentuin seberapa berharga karakter jiwa kita dan apa "madu kehidupan" yang kita rasakan dari karakter kita.
Then, so what with people's says?


Sumber : http://jejak-sangmanyar.blogspot.com/2012/06/terbuka-tertutup.html